Kamis, 24 Februari 2011

Nilai filososi yang tersirat dalam judul dan syair gendhing cucur bawuk

Seni Karawitan adalah salah satu bentuk kesenian tradisional yang hidup dan berkembang di Nusantara. Kehadirannya dapat digunakan sebagai salah satu ciri dan kebanggaan bangsa yang mampu membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lainnya. Seni karawitan sebagai salah satu penyangga budaya, selalu berpartisipasi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia (khususnya suku Jawa) dengan memberikan tuntunan pelajaran hidup yang termuat dalam judul lagu, musikalitas, dan syair-syair atau cakepan yang terdapat dalam Gendhing (lagu Jawa).
Judul lagu atau gendhing dalam karawitan Jawa selalu ringkas, padat, namun mengandung makna mendalam apabila ditinjau dari perspektif filsafat. Seperti halnya dalam karya ilmiah, judul sebuah gendhing merupakan cerminan aspek-aspek yang terdapat di dalamnya. Judul gendhing dalam karawitan tradisi Jawa selalu menggunakan kata “simbolis”, yang artinya memerlukan interpretasi makna untuk menangkap “pesan” yang ingin disampaikan pencipta kepada audience.
Syair-syair atau cakepan yang diciptakan para pujangga atau seniman karawitan biasanya dituangkan dalam bentuk bahasa simbol dengan pemaknaan yang sarat dan mengandalkan kesusastraan mendalam dan indah. Diperlukan pengkajian makna terlebih dahulu untuk memahami maksud dan tujuan yang ingin disampaikan kepada audience.
Pada kesempatan ini penulis akan menganalisis dan menginterpretasikan gendhing Cucur Bawuk dari sisi ajaran hidup yang terkandung dalam judul dan syairnya. Judul dan syair diambil dari buku Kumpulan Gending Gagrag Surakarta tulisan Saksonorawita dan Sukimin Dwijaatmaja.
Filosofi Judul Gendhing
Nama Cucur Bawuk dapat diinterpretasikan maknanya secara per-kata. Cucur berasal dari kata “kucur” atau menjadi kata predikat “mengucur” yang mempunyai makna harfiah menetesnya darah yang keluar akibat terjadinya “sesuatu”. Sedangkan “bawuk” adalah sebutan atau nama liang kewanitaan yang berfungsi sebagai organ seksual dan jalan kelahiran bayi. Apabila digabung, kata majemuk “cucur bawuk” mempunyai makna harfiah mengucurnya darah dari liang kewanitaan.
Kata “cucur bawuk” yang digunakan sebagai sebutan gendhing mempunyai makna tersirat lahirnya seorang bayi dari seorang ibu akibat buah cinta orang tua. “Mengucur” melambangkan perjuangan berat dengan taruhan nyawa. Makna tersebut dapat diinterpretasikan sebagai perjuangan yang harus dilakukan untuk mendapatkan kebahagiaan atau kesuksesan.
Filosofi Syair Gendhing
Syair atau cakepan (istilah karawitan) gendhing Cucur Bawuk terdiri dari 4 bait atau pada dengan menggunakan bahasa campuran antara Jawa Kuna dan Jawa Modern. Filosofi sebagai ajaran hidup yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
Pada/bait 1:
Wening, (hening)
Dumling cenger jabang, (mendengar tangis bayi)
Wruh pepadhang miwah sepi, (melihat terang dan sepi)
Swasana plong procot mijil, (suasana lega keluar)
Guwa garba biyungipun. (dari rahim sang ibu)
Pemaknaan syair atau bait satu dapat diinterpretasikan sebagai berikut :
Wening atau hening memaknakan suasana yang penuh dengan permohonan doa ucapan terima kasih orang tua kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan berkah diperkenankannya sang bayi memulai hidup di dunia. Hadirnya seseorang dalam keluarga menjadi harapan dan tumpuan masa depan keluarga dalam melaksanakan kehidupan sebagai rahmat Tuhan.
Dumling cenger jabang, maksudnya adalah kehadiran sang bayi di dunia ini dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Hal ini bermakna bahwa anak yang sempurna lahir batin diharapkan mampu memecahkan segala permasalahan yang akan dihadapi keluarga. Cenger atau tangis merupakan manifestasi aktifitas seseorang yang mencirikan kemampuan dan kesiapan menghadapi hidup.
Wruh pepadhang miwah sepi, adalah kemampuan seseorang dalam membedakan perbuatan baik dan buruk yang selalu dihadapi oleh manusia selama masih hidup di alam fana.
Swasana plong procot mijil, merupakan manifestasi rasa lega seorang ibu yang telah usai melahirkan. Kelegaan atas sebuah kemenangan melawan maut yang dapat membawa sang ibu maupun anak kepada kematian. Hal ini dapat diinterpretasikan pula sebagai seseorang yang lepas dari sebuah permasalahan berat dan telah mendapatkan solusi terbaik dan tuntas.
Guwa garba biyungipun, memaknakan liang kewanitaan ibu yang diinterpretasikan sebagai sebuah jalan yang harus ditempuh meskipun penuh dengan derita demi tercapainya cita-cita hidup yang lebih baik.
Pada/bait 2 :
Hayu rahayuwa, (semoga selamat)
Jabang biyang baraya gung, (bayi keluarga besar)
Karoban berkah Pangeran, (mendapat berkah Tuhan)
Slamet ing salami-lami. (selamat selamanya)
Pemaknaan syair atau bait dua dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
Hayu rahayuwa, adalah sebuah pemaknaan doa yang dipanjatkan oleh kedua orang tua sang bayi. Berkat kegigihan yang disandarkan pada kehendak Tuhan akan membuahkan hasil kebahagian keluarga dengan didapatkannya tambahan anggota keluarga. Kehadiran seseorang (bayi) akan menciptakan sejarah dan suasana baru di mana ia berada dalam lingkungannya.
Jabang biyang baraya gung, jabang biyang konotasinya adalah jabang bayi atau bayi, sedangkan baraya gung adalah keluarga besar. Makna dari kalimat tersebut adalah sang bayi tidak hanya sebagai anggota keluarga kecil (terdiri dari ayah, ibu, dan anak), tetapi juga merupakan anggota dari keluarga besar atau trah. Bertambahnya anggota keluarga dimaknai sebagai harapan meningkatnya taraf hidup, persaudaraan, kebahagiaan, pelestarian, dan pengembangan trah. Dengan bertambahnya anggota trah, berarti semangat gotong royong akan semakin kuat dalam menghadapi perjalanan hidup.
Karoban berkah Pangeran, kata karoban mempunyai padanan kata kejugrukan atau keruntuhan (dalam bahasa Indonesia). Namun karoban di sini bukan bermakna sebagai keruntuhan benda yang banyak dan menyakitkan, tetapi gaya hiperbola yang bermakna mendapatkan sesuatu yang sangat banyak. Hal tersebut menjadi jelas bila dirangkaikan dengan kata selanjutnya yaitu berkah Pangeran yang artinya berkah dari Tuhan. Jadi maksud dari rangkaian kata tersebut adalah mendapatkan berkah Tuhan yang melimpah. Pemaknaan rangkaian kata tersebut dapat diinterpretasikan sebagai kecintaan Tuhan kepada umat-Nya yang telah memberikan seorang anak. Bagi orang Jawa anak merupakan anugerah “luar biasa” dan dianggap sebagai “bandha sing ora ana tandhinge.” Artinya nilai seseorang anak diibaratkan sebagai harta yang tidak ternilai harganya, atau dapat disimpukan bahwa nilai seorang anak tidak dapat disamakan dengan harta benda.
Slamet ing salami-lami, bermakna selamat untuk selama-lamanya. Makna kalimat tersebut adalah sang bayi diharapkan selamat sampai akhir hayat. Hal ini merupakan manifestasi sebuah harapan dan doa kepada seseorang supaya lepas dari segala bentuk mara bahaya dan “dunia kegelapan” yang akan mengganggu langkahnya menuju “kesempurnaan”. Kesempurnaan yang dimak-sud di sini adalah sebuah proses pencapaian kematangan fisik maupun psikis seseorang menuju terpenuhinya kebutuhan duniawi maupun surgawi.
Pada/bait 3 :
Glewo gewalagang, (cantik/cakep dan perkasa)
Sabawane nangis ngguyu, (tingkah laku menangis dan tertawa)
Mimik pipis lan kalegan, (minum, pipis, dan perasaan lega)
Yayah rena sambung rasa. (siang malam saling cinta)
Pemaknaan syair atau bait tiga dapat dinterpretasikan sebagai berikut :
Glewo gewalagang yang makna harfiahnya cantik/cakep dan perkasa dapat dimaknai sebagai cantik secara fisik maupun “cantik” dalam perbuatan yang mengutamakan kebajikan dan kebermanfaatan bagi orang lain, agama, maupun bangsa dan negara. Hal ini berkaitan dengan konsep orang Jawa “amemangun karyenak tyasing sasama yang artinya membangun suasana yang tenteram bagi sesama manusia. Sedangkan kata gewalagang atau perkasa dapat diinter-pretasikan sebagai kuat secara lahir dan batin dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup.
Sabawane nangis ngguyu, dapat diinter-pretasikan sebagai dinamika hidup yang penuh dengan suka maupun duka. Suka dan duka harus dimaknai sebagai sumber pengalaman dan pengetahuan sebagai proses menuju kematangan emosional seseorang.
Mimik pipis lan kalegan. Minum (mimik) dapat dimaknai sebagai menimba ilmu pengetahuan dari orang yang lebih tua atau kompeten. Pipis dimaknai sebagai sumbangsih pemikiran dan perbuatan yang berguna bagi sesama. Sedangkan perasaan lega atau puas dimaknai sebagai rasa kepuasan emosional setelah mendapatkan maupun mengamalkan pengetahuan dan pemikiran.
Yayah rena sambung rasa dengan makna harfiah siang malam saling cinta, dapat diinterpretasikan sebagai rasa kebersamaan yang harus dibangun oleh seseorang dengan orang tua, sanak saudara, dan masyarakat yang harus dilakukan di setiap saat. Hal ini mengajarkan proses seseorang dalam berinteraksi dengan sesama untuk membentuk budaya.
Pada/bait 4 :
Twajuh nggulawentah, (tekun mengelola)
Tresna asih rina wengi, (siang malam saling cinta)
Titi tlaten tan angresah, (teliti, rajin dan tidak mengeluh)
Ginadhanganom utama, (semoga menjadi orang yang baik)
Pemaknaan syair atau bait empat dapat dinterpretasikan sebagai berikut:
Twajuh nggulawentah makna harfiahnya adalah tekun mengelola yang dilakukan seorang ibu kepada anaknya. Kalimat tersebut dapat dimaknai sebagai keiklasan hati akan perbuatan yang didharmabaktikan kepada sesama. Dharma bakti mempunyai esensi tidak mengharapkan balas budi dalam bentuk apapun.
Tresna asih rina wengi, mempunyai makna harfiah siang malam saling cinta antara seorang ibu (orang tua) dengan anaknya. Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai manifestasi rasa saling memiliki atau rasa saling “handarbeni” yang tiada berkesudahan. Handarbeni memiliki makna merawat (memelihara), melindungi, dan bertanggung jawab pada sesama.
Titi tlaten tan angresah, mempunyai makna harfiah teliti, rajin dan tidak mengeluh yang dilakukan seorang ibu dalam mengasuh anaknya. Hal ini dapat dimaknai sebagai bentuk tanggung jawab terhadap pekerjaan dan anak buahnya. Pemaknaan ini masih terkait dengan konsep kepemimpinan orang Jawa “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Artinya, seorang pemimpin harus mempunyai jiwa: (1) dapat memberikan contoh bagi anak buahnya, (2) ikut berpartisipasi dengan anak buahnya dalam menjalankan pekerjaannya, dan (3) dapat mengikuti dan memberi motivasi kepada anak buahnya dalam menjalankan tugasnya.
Ginadhang anom utama, mempunyai makna harfiah harapan yang ditujukan kepada anaknya untuk menjadi pemuda yang baik, sukses, dan terhormat. Kata baik, sukses, dan terhormat cenderung diinterpretasikan sebagai keberhasilan yang berorientasi pada watak atau karakter baik yang dimiliki oleh seseorang. Watak atau karakter individu yang baik diharapkan dapat diabdikan kepada kepentingan masyarakat, agama, serta bangsa dan negara

fungsi seni karawitan 2


Seni  Karawitan  dan  Masyarakat


Seni dan masyarakat ibarat simbiosis mutualisme, keduanya saling ketergantungan, membutuhkan. Perubahan di satu sisi akan berpengaruh terhadap sisi lainnya. Demikian juga yang berlaku pada seni karawitan. Perkembangannya sangat tergantung pada perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Sehingga saat ini munculah berbagai macam bentuk pertunjukan dengan latar belakang seni karawitan, seperti campursari, kolaborasi musik diatonis dan pentatonis, karawitan modern, maupun kontemporer.

Dewasa ini sebagaian besar masyarakat menganut konsep hidup “ praktis dan ekonomis “. Salah satu akibatnya adalah kemasan suatu bentuk seni harus beorientasi pada konsep hidup tersebut. Dalam seni karawitan tradisi, perubahan yang terjadi ditandai dengan semakin banyaknya gending-gending srambahan yang disajikan dalam suatu hajatan.

Dahulu orang akan dengan santainya mendengarkan gending-gending klasik yang berdurasi lama, disertai dengan minum kopi, merokok, ngobrol kesana kemari sampai menjelang pagi, dan ini seakan bagian dari hidupnya. Fenomena seperti itu sekarang sudah jarang ditemui. Kecenderungannya baik yang punya hajat maupun tamu undangan hanya menyesuaikan dengan kebutuhan acara saat itu. Perubahan yang demikian menjadikan keberadaan seni karawitan dianggap kurang mewadahi kebutuhan masyarakat pendukungnya, kurang komunikatif, dan atau istilah lain yang intinya seni karawitan sudah kurang sesuai dengan kondisi jaman sekarang.

Pendapat yang demikian masih memerlukan pembuktian secara ilmiah, karena sebagai salah satu bagian dari produk budaya, seni karawitan mempunyai hak untuk dikomunikasikan kepada masyarakat. Adapun syarat untuk dikomukasikan antara lain harus nampak baik secara audio maupun visual. Jelas dengan syarat tersebut seni karawitan dapat memenuhi kriteria sebagai produk budaya yang dapat berkomunikasi kepada masyarakat. Secara visual dapat dilihat bahwa karawitan dimainkan dengan menggunakan seperangkat alat yang disebut gamelan, yang masing-masing instrumennya mempunyai tugas dan kewajibannya sendiri-sendiri, sedangkan secara audio dapat dirasakan melalui suara merdu gamelan mengalunkan gending-gending dengan karakter yang berbeda, dapat menggambarkan serta mempengaruhi jiwa maupun perasaan seseorang, bahkan dalam lingkup yang lebih besar yaitu masyarakat.


III. Penutup

Berdasarkan paparan di muka, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa fungsi seni karawitan dalam kehidupan masyarakat sangat dominan. Seni karawitan dapat berfungsi sebagai sarana upacara, hiburan, yang bersifat sederhana, maupun rumit, antara seni karawitan dengan masyarakat ibarat sekeping uang logam, karawitan selalu ada di dalam jiwa manusia, karena dalam menjalani kehidupannya manusia selalu berirama.

Fungsi seni karawitan yang sangat menonjol adalah sebagai sarana komunikasi. Suatu bentuk seni yang berbobot harus mampu menyampaikan atau berkomunikasi dengan baik. Maksud atau makna dari suatu karya seni tidak akan sampai ke dalam hati sang pengamat apabila komunikasinya kurang efektif, hubungan antara karya dan yang menyaksikannya tidak mantap (Djelantik, 2004:56). Dalam hal ini, seni karawitan dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi yang efektif, baik secara vertikal maupun horisontal.

Secara vertikal kemampuan seni karawitan dalam berkomunikasi terwadahi dalam bentuk gending sebagai kumpulan nada-nada yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa enak apabila didengarkan. Gending dalam seni karawitan mempunyai karakter yang berbeda, ada yang berkarakter gembira, sedih, prenes, dan lain sebagainya. Bahkan ada beberapa gending yang dianggap keramat, dan diyakini mempunyai kekuatan tertentu. Untuk membunyikannya memerlukan sesaji khusus. Kekuatan gending tersebut dapat dijadikan sebagai sarana komunikasi antara manusia dengan Sang Pencipta.

Dalam konteks yang lain Judith Baker menginterpretasikan bahwa melodi musik jawa (gamelan) mempunyai kaitan erat dengan sistem kepercayaan asta-wara, yaitu siklus kalender bulan dan sistem pengetahuan Jawa. Siklus ketukan gong dapat dibagi menjadi setengah kenong, seperempat kempul, seperdelapan kethuk, seperenambelas saron, dan sepertigapuluh bonang barung (Fananie, 2000: 134).

Secara horisontal, komunikasi pada seni karawitan tercermin dari hasil sajian yang merupakan hasil kerjasama antar unsur yang ada pada seni karawitan, bersifat kolektif, saling mendukung untuk memberi tempat berekspresi sesuai dengan hak dan kewajibannya.. Hal ini sesuai dengan pola hidup masyarakat Jawa yang sebagian besar menganut asas gotong-royong, lebih mengutamakan kebersamaan.

Untuk mendapatkan sajian yang baik, para pemain (pengrawit) saling berhubungan, berkomunikasi satu dengan lainnya. Komunikasi disini tidak secara jelas, tetapi terwujud dalam permainan instrumen sesuai dengan tugas dan kewajibannya. Disamping itu, banyak terdapat cakepan dalam tembang, baik itu disajikan dengan bentuk gerong, sindhenan, bowo, atau lainnya, yang semuanya memuat ajaran luhur untuk berbuat kebaikan, meskipun banyak yang berupa sanepa, simbol.

Simbol-simbol yang ada dalam seni karawitan dapat dikatakan menyerupai filosofi manusia, maupun pola hidup manusia. Diantaranya, penyebutan nada-nada instrumen dalam laras slendro, 1 (Barang), 2 (Gulu/Jangga), 3 (Dhadha), 5 (Lima), 6 (Nem), dan 1 (Barang alit). Nama-nama tersebut penggambaran atau ditafsirkan sebagai bagian organ tubuh manusia. Selain itu dari nada-nada laras slendro (1,2,3,5,6) apabila kita jumlah menjadi 17. Jumlah tersebut sesuai dengan kewajiban hidup masyarakat penganut agama Islam, yaitu menjalankan sholat wajib sehari semalam 17 rakaat. Misteri angka 17 dalam laras slendro dapat pula dihubungkan dengan peristiwa besar yang terjadi di Indonesia, yaitu terbebasnya negara Indonesia dari penjajah atau merdeka yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945.

Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa komunikasi tidak hanya menggunakan sesuatu yang berwujud nyata, jelas artinya, tetapi dapat juga dengan bahasa simbol. Komunikasi dapat sebagai aktivitas simbolis, karena aktivitas komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol bermakna yang diubah ke dalam kata-kata (verbal) untuk ditulis dan diucapkan, atau simbol ‘bukan kata-kata verbal’ untuk ‘diperagakan’ (Liliweri, 2003: 5).

(*)
Daftar Pustaka

A.A.M., Djelantik, Estetika Sebuah Pengantar, Bandung: MSPI Bekerjasama dengan Arti, Cetakan ketiga 2004.
Alo Liliweri, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, LKiS Yogyakarta. 2003.
Bram Palgunadi, Serat Kandha Karawitan Jawi, Bandung: Institut Teknologi Bandung, 2002.
Djojokoesoemo, G.P.H., Kesenian Selayang Pandang, Surakarta: Udan Mas, t.t.
Driyarkara, Driyarkara Tentang Kebudayaan, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1980.
Mantle Hood, Javanese Gamelan in the World of Music, terj. Hardjo Susilo, Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat, 1958.
Martopangrawit, “Pengetahuan karawitan I”, Surakarta: ASKI Surakarta, 1975.
S. Prawiroatmojo, Bausastra Jawa-Indonesia, Jakarta: P.T. Gunung Agung, 1985.
Sindusawarna, Ki., “Karawitan Jilid I” Surakarta: t.p., t.t.
Soedarso, Sp., Tinjauan Seni Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni, Yogyakarta: Akademi Seni Rupa Indonesia, 1976.
Soemodiningrat, K.R.M.T.H., Serat Karawitan, Sragen: Holah Karawitan, 1936.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, Edisi Baru Keempat, 1990.
Soeroso, Menuju ke garapan Komposisi karawitan, Yogyakarta: AMI Yogyakarta, 1975.
Soeroso, “Pengetahuan Karawitan” Laporan Pelaksanaan Penulisan Buku/Diktat Perkuliahan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Yogyakarta: Proyek Peningkatan Pengembangan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 1985/1986.
Suhastjarja, R.M.A.P., et. al., “Analisa Bentuk Karawitan”, Yogyakarta: Proyek Akademi Seni Tari Indonesia Yogyakarta, 1984/1985.
Sumarsam, Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Waridi, “Gending Dalam Pandangan Orang Jawa: Makna, Fungsi Sosial, dan Hubungan Seni”, dalam Kembang Setaman Persembahan Untuk Sang Maha Guru, A.M. Hermin Kusmayati (ed.), Yogyakarta: BP ISI, 2003.
Zainuddin Fananie, Restrukturisasi Budaya Jawa: Perspektif KGPAA MN I, Surakarta: Muhammadiyah University, 2000.

****

Menyikat lantai dan membersihkan pispot sama mulianya dengan pekerjaan presiden (Richard M. Nixon)

Pikiran jahat menunjukkan bahwa kita sakit, jadi kita harus menghindarinya (Gandhi)

Sungguh baik untuk memiliki uang dan hal-hal yang bisa dibeli dengan uang, tetapi sungguh baik pula untuk sekali-kali memeriksa dan meyakinkan diri kita, bahwa kita tidak kehilangan hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang (George Horace Lorimer)

Kebohongan bukan cuma berlawanan dengan kebenaran, tetapi juga sering saling bertentangan di antara mereka sendiri (Daniel Webster)

Orang yang mengakui ketidaktahuannya cuma orang yang menunjukkan ketidaktahuannya sekali; orang yang mencoba menutup-nutupi ketidaktahuannya menunjukkannya berulang-ulang (Peribahasa Jepang)

definisi seni karawitan

Definisi Seni Karawitan
 

Sebelum istilah karawitan mencapai popularitas di masyarakat seperti sekarang ini, dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di lingkungan daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta, sudah sering terdengar kata rawit yang artinya halus, indah-indah (Prawiroatmojo, 1985:134). Begitu pula sudah terdengar kata ngrawit yang artinya suatu karya seni yang memiliki sifat-sifat yang halus, rumit, dan indah (Soeroso: 1985,1986). Dari dua hal tersebut dapat diartikan bahwa seni karawitan berhubungan dengan sesuatu yang halus, dan rumit. Kehalusan dan kerumitan dalam seni karawitan tampak nyata dalam sajian gending maupun asesoris lainnya.
Suhastjarja (1984) mendefinisikan seni karawitan adalah musik Indonesia yang berlaras non diatonis (dalam laras slendro dan pelog) yang garapan-garapannya sudah menggunakan sistim notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, sifat pathet, dan aturan garap dalam bentuk instrumentalia, vokalis dan campuran, enak didengar untuk dirinya maupun orang lain.
Martopangrawit (1975) berpendapat, seni karawitan adalah sebagai seni suara vokal dan instrumen yang menggunakan nada-nada yang berlaras slendro dan pelog.
Ki Sindusawarna dalam buku Karawitan Jilid I berpendapat, bahwa dari segi bahasa, karawitan berasal dari kata rawita, diberi awalan ka, dan akhiran an. Rawita artinya mengandung rawit, yang berarti halus, indah, rumit. Jadi karawitan berarti kumpulan dari segala yang mengandung kehalusan dan keindahan.
Soeroso (1975) mendefinisikan karawitan sebagai ungkapan jiwa manusia yang dilahirkan melalui nada-nada yang berlaras slendro dan pelog, diatur berirama, berbentuk, selaras, enak didengar dan enak dipandang, baik dalam vokal, instrumental, maupun garap campuran.
K.R.M.T.H. Soemodiningrat (1936) mendefinisikan karawitan dalam bentuk tembang macapat Dhandhanggulo sebagai berikut:
Kang ingaran krawitan winarni
tetabuhan gangsa tuwin tembang
katrine winastan joged
kumpuling telu iku
karawitan dipun wastani
tegese ka-alusan
alus trusing kalbu
dadi tetengering bangsa
ing sadhengah bangsa mesthi handarbeni
lelangen karawitan
yang disebut karawitan adalah
bunyi dari gamelan serta tembang
yang ketiga disebut dengan joged
kesatuan dari ketiganya itu
disebut karawitan
artinya adalah kehalusan budi
merasuk ke dalam sanubari
itu semua menjadi lambang suatu bangsa
dimana setiap bangsa tentu memilikinya
berolah karawitan

perkembangan seni karawitan

Perkembangan Seni Karawitan

Berdasarkan sejarah, keberadaan gamelan sudah berabad-abad lamanya. Hal ini dapat dibuktikan dari tulisan-tulisan, maupun prasasti-prasasti di dinding candi yang ditemukan. Perkembangan selanjutnya dari masa ke masa mengalami perubahan, baik bentuk, jenis, maupun fungsinya. Dari yang sangat sederhana, menjadi sederhana, kemudian menjadi lebih komplit. Bukti tertua mengenai keberadaan alat-alat musik tradisional Jawa dan berbagai macam bentuk permainannya dapat ditemukan pada piagam Tuk Mas yang bertuliskan huruf Pallawa. Keserdehanaan bentuk, jenis dan fungsinya tentu berkaitan erat dengan pola hidup masyarakat pada waktu itu. Pada piagam tersebut terdapat gambar sangka-kala, yaitu semacam terompet kuno yang digunakan untuk perlengkapan upacara keagamaan (Palgunadi, 2002:7).
Kehidupan seni karawitan sejauh ini sudah mengalami perjalanan sejarah yang panjang bersamaan dengan munculnya kerajaan-kerajaan besar, seperti Majapahit, dan Mataram. Dibawah kekuasaan kerajaan-kerajaan tersebut, gamelan (seni karawitan) mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sehingga menarik para ilmuwan asing untuk mempelajari dan mendokumentasikan. Banyak penemuan-penemuan hasil penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan asing. Sebagian hasil penemuan tersebut selanjutnya digunakan untuk mempelajari seni karawitan.
Perkembangan yang terjadi pada dunia seni karawitan menggambarkan bahwa seni karawitan merupakan suatu produk kebudayaan yang selalu ingin berkembang, menyesuaikan dengan kondisi jaman. Hal ini sesuai dengan kodratnya, bahwa seni karawitan sebagaimana cabang seni pertunjukan tradisi lainnya dikategorikan dalam jenis seni komunal, yaitu seni yang lahir dari, oleh, dan untuk masyarakat. Keberadaan dan perkembangannya tergantung pada kondisi masyarakat. Dalam konteks yang lain dapat dikategorikan dalam bentuk seni yang patronage, yaitu seni jenis yang mengabdi kepada sesuatu atau seseorang yang dianggap sebagai payungnya. Sehingga keberadaan dan perkembangannya tergantung pada penguasa.
Pada jaman kerajaan perkembangan seni karawitan berjalan pesat. Peran Raja sebagai penguasa tunggal sangat menentukan hidup dan matinya suatu bentuk seni. Seperti yang diutarakan dalam puisi abad ke-14 kakawin Negarakertagama, kerajaan Majapahit mempunyai lembaga khusus yang bertanggung jawab mengawasi program seni pertunjukan (Sumarsam, 2003:19). Begitu pentingnya seni pertunjukan (karawitan) sebagai suatu pertanda kekuasaan raja adalah keterlibatan gamelan dan teater pada upacara-upacara atau pesta-ria kraton (Sumarsam, 2003:11).
Perkembangan seni karawitan berlanjut dengan munculnya Kerajaan Mataram. Pada jaman ini dianggap sebagai tonggak seni karawitan, terutama untuk gaya Yogyakarta dan Surakarta. Tidak hanya penambahan jenis-jenis gamelan saja, melainkan fungsi seni karawitanpun mengalami perkembangan. Disamping sebagai sarana upacara, seni karawitan juga berfungsi sebagai hiburan. Dahulu seni karawitan produk kraton hanya dinikmati di lingkungan kraton. Selanjutnya karena keterbukaan kraton dan palilah Dalem, seni karawitan produk kraton sudah berbaur dengan masyarakat pendukungnya.
Dari realita tersebut terlihat begitu kuatnya peran penguasa dalam menentukan keberadaan suatu bentuk kesenian. “Sabda pandhito ratu” merupakan kebiasaan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan pada saat itu. Eksistensi dan perkembangan kesenian di masyarakat, keadaannya, penciptaannya, pelaksanaannya tergantung pada kegiatan para pendukung, dan adat kebiasaan yang berlaku. Popularitas suatu cabang seni bertalian erat dengan kegemaran orang banyak pada suatu waktu, hidup suburnya berkaitan dengan penghargaan, bantuan materiil dari penguasa (Djojokoesoemo, tt.:132-133).

fungsi seni karawitan 1

I. Latar Belakang

Pada dasarnya manusia hidup memerlukan santapan jasmani dan rokhani. Santapan jasmani merupakan kebutuhan hidup sehari-hari dalam bentuk lahiriah, sedang santapan rokhani diperuntukkan bagi jiwa manusia yang berkaitan erat dengan perasaan. Dengan perasaan manusia dapat menentukan sesuatu yang dilihat dan didengar itu baik atau buruk. Bahkan dengan perasaan dapat menghasilkan suatu sifat keindahan, keluhuran, dan lain sebagainya. Dalam berbagai pandangan dan pendapat, banyak yang menyebutkan bahwa apabila kita berbicara masalah keindahan kiranya tidak akan lepas dari seni. Karena seni itu sebagai suatu produk kehalusan yang indah-indah (Soedarso, 1976: 14).

Sebenarnya pandangan tersebut di atas bukan suatu hal yang mutlak. Hanya dalam keseharian kadang terjadi kekeliruan presepsi kita tentang seni, karena kurang ajegnya penggunaan/pemaknaan kata-kata seni dan keindahan. Banyak yang beranggapan bahwa semua yang indah adalah seni, atau sebaliknya, bahwa semua seni itu indah. Apabila seni sebagai ekspresi jiwa, maka suatu bentuk seni tidaklah mesti menampakkan keindahan bentuknya, tetapi yang nampak adalah rasa keindahan dari penciptanya. Semua berawal dari bagaimana perasaan yang ada pada pencipta ketika menciptakan suatu karyanya. Disamping itu anggapan tentang indahnya suatu bentuk seni tergantung juga pada penikmat. Apabila suatu karya seni sudah berada di tengah-tengah masyarakat, maka sedikit banyak legalitasnya akan tergantung pada masyarakat. Bagaimana masyarakat menerima dan menghargai suatu karya seni menjadi sangat penting. Dengan demikian suatu karya seni bukanlah milik pribadi penciptanya, melainkan sudah menjadi milik masyarakat penikmatnya. Sehingga eksistensi suatu karya seni tergantung kepada masyarakat.

Sebagai salah satu bidang dari kebudayaan, kedudukan seni dalam masyarakat tidak kalah pentingnya dengan bidang-bidang lain. Kesenian selalu hadir di tengah-tengah masyarakat. Kesenian selalu melekat pada kehidupan setiap manusia, dimana ada manusia disitu ada kesenian (Driyarkara, 1980: 8). Dengan demikian antara seni dengan manusia tidak dapat dipisahkan, keduanya saling membutuhkan. Manusia membutuhkan seni untuk keperluan hidupnya, sedang seni membutuhkan manusia sebagai pendukungnya. Sebagai pendukungnya, diharapkan manusia dapat melestarikan dan mengembangkan dengan menciptakan bentuk-bentuk baru yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi jaman maupun lingkungan. Disadari atau tidak, dalam mengembangkan suatu bentuk kesenian tidak akan lepas, dan selalu bersinggungan dengan aspek-aspek lain, seperti sosial, ekonomi, kepercayaan, adat-istiadat, dan lain sebagainya.

Dewasa ini, kesenian tidak selalu menduduki tempat yang sama dalam kehidupan masyarakat. Presepsi dan kegemaran bentuk kesenian antara daerah yang satu dengan lainnya berbeda. Peran perubahan sosial dalam berbagai aspek kehidupan manusia ikut menentukan keberadaan suatu bentuk seni. Sebagai pemegang hak atas mati dan hidupnya suatu bentuk seni, manusia berhak menciptakan, melestarikan, dan mengembangkan bentuk-bentuk seni yang disesuaikan dengan kondisi dimana dan kapan ia hidup. Dengan demikian, selama manusia hidup, seni tidak akan pernah mati. Melainkan turun-temurun, berputar, sesuai dengan kodrat dan hidup manusia. Hal ini sesuai dengan sifat kebudayaan sebagai sesuatu yang superorganic, yaitu kebudayaan yang tetap hidup terus, dan turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya, walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kematian dan kelahiran (Soekanto, 1990: 188).

Dahulu ketika berada dalam kekuasaan kerajaan, maka segala bentuk, pola kehidupan masyarakat banyak diatur oleh kerajaan. Kedudukan seorang raja sebagai pemimpin akan menentukan nasib segalanya. Ketika seorang raja bersabda, maka segalanya akan berubah, termasuk didalamnya adalah kesenian. Sekarang ketika kerajaan sudah berkurang kekuasaannya, maka kehidupan masyarakat termasuk di dalamnya bentuk-bentuk seni, bebas untuk melakukan aktifitas. Seakan bebas dari belenggu, maka bentuk-bentuk seni pasca jaman kerajaan terkesan mulai saling menyapa, dan bergaul. Sekarang kehidupan kesenian di dalam kraton sudah tidak dimonopoli bentuk-bentuk seni istana. Bahkan, dalam acara-acara tertentu, bentuk-bentuk seni produk non kraton sudah terbiasa merambah masuk, dan dinikmati oleh masyarakat kraton (lingkungan istana). Alkulturasi akhirnya menjadi bagian yang sangat penting dalam menjaga eksistensinya.

Perubahan kondisi tersebut mengakibatkan banyak hal, salah satunya orientasi seniman dalam berkarya bergeser. Dahulu dalam berkarya seorang seniman selalu terbawa oleh kewenangan seorang raja, bahkan tidak sedikit karya-karya seni yang dipersembahkan kepada raja, sehingga banyak karya seni yang penciptanya diatasnamakan raja yang berkuasa pada saat itu. Sekarang, dalam berkarya seorang seniman tidak hanya berorientasi pada penguasa saja, melainkan masyarakat sebagai konsumen mendapatkan prioritas yang sama, karena masyarakatpun mempunyai kewenangan untuk menentukan bentuk, pengakuan, dan penghargaan akan legalitas suatu karya seni. Namun demikian tidaklah mudah seorang seniman untuk selalu mengikuti keinginan masyarakat “pasar”. Dengan berorientasi pada keinginan masyarakat kadangkala membuat seorang seniman menjadi dilematis. Tidak menutup kemungkinan karyanya bersifat tidak orisinal, tidak sesuai emosi jiwanya, tetapi lebih pada kebutuhan pasar, bahkan banyak pula yang lebih pada