Seni Karawitan adalah salah satu bentuk kesenian tradisional yang hidup dan berkembang di Nusantara. Kehadirannya dapat digunakan sebagai salah satu ciri dan kebanggaan bangsa yang mampu membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lainnya. Seni karawitan sebagai salah satu penyangga budaya, selalu berpartisipasi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia (khususnya suku Jawa) dengan memberikan tuntunan pelajaran hidup yang termuat dalam judul lagu, musikalitas, dan syair-syair atau cakepan yang terdapat dalam Gendhing (lagu Jawa).
Judul lagu atau gendhing dalam karawitan Jawa selalu ringkas, padat, namun mengandung makna mendalam apabila ditinjau dari perspektif filsafat. Seperti halnya dalam karya ilmiah, judul sebuah gendhing merupakan cerminan aspek-aspek yang terdapat di dalamnya. Judul gendhing dalam karawitan tradisi Jawa selalu menggunakan kata “simbolis”, yang artinya memerlukan interpretasi makna untuk menangkap “pesan” yang ingin disampaikan pencipta kepada audience.
Syair-syair atau cakepan yang diciptakan para pujangga atau seniman karawitan biasanya dituangkan dalam bentuk bahasa simbol dengan pemaknaan yang sarat dan mengandalkan kesusastraan mendalam dan indah. Diperlukan pengkajian makna terlebih dahulu untuk memahami maksud dan tujuan yang ingin disampaikan kepada audience.
Pada kesempatan ini penulis akan menganalisis dan menginterpretasikan gendhing Cucur Bawuk dari sisi ajaran hidup yang terkandung dalam judul dan syairnya. Judul dan syair diambil dari buku Kumpulan Gending Gagrag Surakarta tulisan Saksonorawita dan Sukimin Dwijaatmaja.
Filosofi Judul Gendhing
Nama Cucur Bawuk dapat diinterpretasikan maknanya secara per-kata. Cucur berasal dari kata “kucur” atau menjadi kata predikat “mengucur” yang mempunyai makna harfiah menetesnya darah yang keluar akibat terjadinya “sesuatu”. Sedangkan “bawuk” adalah sebutan atau nama liang kewanitaan yang berfungsi sebagai organ seksual dan jalan kelahiran bayi. Apabila digabung, kata majemuk “cucur bawuk” mempunyai makna harfiah mengucurnya darah dari liang kewanitaan.
Kata “cucur bawuk” yang digunakan sebagai sebutan gendhing mempunyai makna tersirat lahirnya seorang bayi dari seorang ibu akibat buah cinta orang tua. “Mengucur” melambangkan perjuangan berat dengan taruhan nyawa. Makna tersebut dapat diinterpretasikan sebagai perjuangan yang harus dilakukan untuk mendapatkan kebahagiaan atau kesuksesan.
Filosofi Syair Gendhing
Syair atau cakepan (istilah karawitan) gendhing Cucur Bawuk terdiri dari 4 bait atau pada dengan menggunakan bahasa campuran antara Jawa Kuna dan Jawa Modern. Filosofi sebagai ajaran hidup yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
Pada/bait 1:
Wening, (hening)
Dumling cenger jabang, (mendengar tangis bayi)
Wruh pepadhang miwah sepi, (melihat terang dan sepi)
Swasana plong procot mijil, (suasana lega keluar)
Guwa garba biyungipun. (dari rahim sang ibu)
Pemaknaan syair atau bait satu dapat diinterpretasikan sebagai berikut :
Wening atau hening memaknakan suasana yang penuh dengan permohonan doa ucapan terima kasih orang tua kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan berkah diperkenankannya sang bayi memulai hidup di dunia. Hadirnya seseorang dalam keluarga menjadi harapan dan tumpuan masa depan keluarga dalam melaksanakan kehidupan sebagai rahmat Tuhan.
Dumling cenger jabang, maksudnya adalah kehadiran sang bayi di dunia ini dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Hal ini bermakna bahwa anak yang sempurna lahir batin diharapkan mampu memecahkan segala permasalahan yang akan dihadapi keluarga. Cenger atau tangis merupakan manifestasi aktifitas seseorang yang mencirikan kemampuan dan kesiapan menghadapi hidup.
Wruh pepadhang miwah sepi, adalah kemampuan seseorang dalam membedakan perbuatan baik dan buruk yang selalu dihadapi oleh manusia selama masih hidup di alam fana.
Swasana plong procot mijil, merupakan manifestasi rasa lega seorang ibu yang telah usai melahirkan. Kelegaan atas sebuah kemenangan melawan maut yang dapat membawa sang ibu maupun anak kepada kematian. Hal ini dapat diinterpretasikan pula sebagai seseorang yang lepas dari sebuah permasalahan berat dan telah mendapatkan solusi terbaik dan tuntas.
Guwa garba biyungipun, memaknakan liang kewanitaan ibu yang diinterpretasikan sebagai sebuah jalan yang harus ditempuh meskipun penuh dengan derita demi tercapainya cita-cita hidup yang lebih baik.
Pada/bait 2 :
Hayu rahayuwa, (semoga selamat)
Jabang biyang baraya gung, (bayi keluarga besar)
Karoban berkah Pangeran, (mendapat berkah Tuhan)
Slamet ing salami-lami. (selamat selamanya)
Pemaknaan syair atau bait dua dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
Hayu rahayuwa, adalah sebuah pemaknaan doa yang dipanjatkan oleh kedua orang tua sang bayi. Berkat kegigihan yang disandarkan pada kehendak Tuhan akan membuahkan hasil kebahagian keluarga dengan didapatkannya tambahan anggota keluarga. Kehadiran seseorang (bayi) akan menciptakan sejarah dan suasana baru di mana ia berada dalam lingkungannya.
Jabang biyang baraya gung, jabang biyang konotasinya adalah jabang bayi atau bayi, sedangkan baraya gung adalah keluarga besar. Makna dari kalimat tersebut adalah sang bayi tidak hanya sebagai anggota keluarga kecil (terdiri dari ayah, ibu, dan anak), tetapi juga merupakan anggota dari keluarga besar atau trah. Bertambahnya anggota keluarga dimaknai sebagai harapan meningkatnya taraf hidup, persaudaraan, kebahagiaan, pelestarian, dan pengembangan trah. Dengan bertambahnya anggota trah, berarti semangat gotong royong akan semakin kuat dalam menghadapi perjalanan hidup.
Karoban berkah Pangeran, kata karoban mempunyai padanan kata kejugrukan atau keruntuhan (dalam bahasa Indonesia). Namun karoban di sini bukan bermakna sebagai keruntuhan benda yang banyak dan menyakitkan, tetapi gaya hiperbola yang bermakna mendapatkan sesuatu yang sangat banyak. Hal tersebut menjadi jelas bila dirangkaikan dengan kata selanjutnya yaitu berkah Pangeran yang artinya berkah dari Tuhan. Jadi maksud dari rangkaian kata tersebut adalah mendapatkan berkah Tuhan yang melimpah. Pemaknaan rangkaian kata tersebut dapat diinterpretasikan sebagai kecintaan Tuhan kepada umat-Nya yang telah memberikan seorang anak. Bagi orang Jawa anak merupakan anugerah “luar biasa” dan dianggap sebagai “bandha sing ora ana tandhinge.” Artinya nilai seseorang anak diibaratkan sebagai harta yang tidak ternilai harganya, atau dapat disimpukan bahwa nilai seorang anak tidak dapat disamakan dengan harta benda.
Slamet ing salami-lami, bermakna selamat untuk selama-lamanya. Makna kalimat tersebut adalah sang bayi diharapkan selamat sampai akhir hayat. Hal ini merupakan manifestasi sebuah harapan dan doa kepada seseorang supaya lepas dari segala bentuk mara bahaya dan “dunia kegelapan” yang akan mengganggu langkahnya menuju “kesempurnaan”. Kesempurnaan yang dimak-sud di sini adalah sebuah proses pencapaian kematangan fisik maupun psikis seseorang menuju terpenuhinya kebutuhan duniawi maupun surgawi.
Pada/bait 3 :
Glewo gewalagang, (cantik/cakep dan perkasa)
Sabawane nangis ngguyu, (tingkah laku menangis dan tertawa)
Mimik pipis lan kalegan, (minum, pipis, dan perasaan lega)
Yayah rena sambung rasa. (siang malam saling cinta)
Pemaknaan syair atau bait tiga dapat dinterpretasikan sebagai berikut :
Glewo gewalagang yang makna harfiahnya cantik/cakep dan perkasa dapat dimaknai sebagai cantik secara fisik maupun “cantik” dalam perbuatan yang mengutamakan kebajikan dan kebermanfaatan bagi orang lain, agama, maupun bangsa dan negara. Hal ini berkaitan dengan konsep orang Jawa “amemangun karyenak tyasing sasama” yang artinya membangun suasana yang tenteram bagi sesama manusia. Sedangkan kata gewalagang atau perkasa dapat diinter-pretasikan sebagai kuat secara lahir dan batin dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup.
Sabawane nangis ngguyu, dapat diinter-pretasikan sebagai dinamika hidup yang penuh dengan suka maupun duka. Suka dan duka harus dimaknai sebagai sumber pengalaman dan pengetahuan sebagai proses menuju kematangan emosional seseorang.
Mimik pipis lan kalegan. Minum (mimik) dapat dimaknai sebagai menimba ilmu pengetahuan dari orang yang lebih tua atau kompeten. Pipis dimaknai sebagai sumbangsih pemikiran dan perbuatan yang berguna bagi sesama. Sedangkan perasaan lega atau puas dimaknai sebagai rasa kepuasan emosional setelah mendapatkan maupun mengamalkan pengetahuan dan pemikiran.
Yayah rena sambung rasa dengan makna harfiah siang malam saling cinta, dapat diinterpretasikan sebagai rasa kebersamaan yang harus dibangun oleh seseorang dengan orang tua, sanak saudara, dan masyarakat yang harus dilakukan di setiap saat. Hal ini mengajarkan proses seseorang dalam berinteraksi dengan sesama untuk membentuk budaya.
Pada/bait 4 :
Twajuh nggulawentah, (tekun mengelola)
Tresna asih rina wengi, (siang malam saling cinta)
Titi tlaten tan angresah, (teliti, rajin dan tidak mengeluh)
Ginadhanganom utama, (semoga menjadi orang yang baik)
Pemaknaan syair atau bait empat dapat dinterpretasikan sebagai berikut:
Twajuh nggulawentah makna harfiahnya adalah tekun mengelola yang dilakukan seorang ibu kepada anaknya. Kalimat tersebut dapat dimaknai sebagai keiklasan hati akan perbuatan yang didharmabaktikan kepada sesama. Dharma bakti mempunyai esensi tidak mengharapkan balas budi dalam bentuk apapun.
Tresna asih rina wengi, mempunyai makna harfiah siang malam saling cinta antara seorang ibu (orang tua) dengan anaknya. Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai manifestasi rasa saling memiliki atau rasa saling “handarbeni” yang tiada berkesudahan. Handarbeni memiliki makna merawat (memelihara), melindungi, dan bertanggung jawab pada sesama.
Titi tlaten tan angresah, mempunyai makna harfiah teliti, rajin dan tidak mengeluh yang dilakukan seorang ibu dalam mengasuh anaknya. Hal ini dapat dimaknai sebagai bentuk tanggung jawab terhadap pekerjaan dan anak buahnya. Pemaknaan ini masih terkait dengan konsep kepemimpinan orang Jawa “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Artinya, seorang pemimpin harus mempunyai jiwa: (1) dapat memberikan contoh bagi anak buahnya, (2) ikut berpartisipasi dengan anak buahnya dalam menjalankan pekerjaannya, dan (3) dapat mengikuti dan memberi motivasi kepada anak buahnya dalam menjalankan tugasnya.
Ginadhang anom utama, mempunyai makna harfiah harapan yang ditujukan kepada anaknya untuk menjadi pemuda yang baik, sukses, dan terhormat. Kata baik, sukses, dan terhormat cenderung diinterpretasikan sebagai keberhasilan yang berorientasi pada watak atau karakter baik yang dimiliki oleh seseorang. Watak atau karakter individu yang baik diharapkan dapat diabdikan kepada kepentingan masyarakat, agama, serta bangsa dan negara